NONTON TV DA PAI....

ADAT ISTIADAT KOMERING

Rabu, 04 Juni 2008
Share

Masyarakat Komering Pun Beradat Istiadat

MELEWATI wilayah Komering, pengguna jalan memang harus hati-hati, terutama pada pekan-pekan setelah hari raya Lebaran. Bukan karena ancaman pemerasan atau perampokan, tetapi karena pekan-pekan tersebut banyak dilaksanakan acara pesta pernikahan.

SALAH satu rangkaian ritualnya, yaitu mengarak calon pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan, selalu mengakibatkan kemacetan.

Bayangkan jika sepanjang ruas jalan Kayu Agung, ibu kota Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Martapura, ibu kota Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, ada lima keluarga saja yang mengadakan acara perkawinan.

Barisan keluarga mempelai laki-laki dengan membawa berbagai macam hantaran berjalan kaki menuju rumah calon besannya. Tak ketinggalan para pemusik kelintang yang memainkan musik di sepanjang perjalanan, menjadikan prosesi arak-arakan tersebut sebagai tontonan yang menarik.

Upacara perkawinan tersebut adalah bagian dari adat yang masih dipegang oleh masyarakat Komering. "Dalam kesehariannya, masyarakat Komering masih memegang baik adat maupun ajaran agama Islam," ujar Ruslan Muchdar, sesepuh masyarakat Komering.

Perkembangan zaman, diakui Ruslan, telah mengikis sejumlah adat kebiasaan masyarakat Komering. Namun, sejumlah kebiasaan belum sepenuhnya hilang, termasuk hal yang sangat sederhana, yaitu kebiasaan memelihara rambut panjang.

Rosdiana, warga Desa Sungai Tuha, Kecamatan Martapura, menuturkan, ia sempat tidak berani pulang ke rumah selama beberapa hari setelah potong rambut. "Ayah marah sekali ketika melihat rambut saya yang sebelumnya sampai ke pinggang, dipotong menjadi sebahu," tuturnya.

Masyarakat Komering yang patrilineal sangat membatasi gerak kerabat perempuan mereka. Di dalam keluarga, laki-laki bertugas menjaga martabat saudara perempuan dan keluarganya. Posisi laki-laki tersebut banyak disimbolkan dalam acara-acara adat.

Dalam rangkaian upacara perkawinan Komering dikenal ritual kandang ralang, yaitu pasangan pengantin diarak dalam kain putih yang panjangnya sampai 60 meter yang bagian tepinya dipegangi oleh sejumlah pemuda.

"Ritual tersebut menyimbolkan bahwa pengantin laki-laki akan menjamin keamanan dan kehormatan keluarga mertuanya," papar Ruslan.

Kehormatan dan harga diri merupakan hal penting bagi seorang Komering. Akan tetapi, mereka sangat pantang mengakui kesalahan di depan orang banyak.

ASAL-usul masyarakat Komering memang tidak begitu jelas. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia yang diterbitkan LP3ES menyebutkan, seperti kebanyakan kelompok masyarakat di Sumatera Selatan, sistem kemasyarakatan Komering dipengaruhi adat Simbur Cahaya.

Simbur Cahaya adalah kumpulan hukum adat setempat yang diterapkan oleh Kesultanan Palembang. Hukum adat itu selain mengatur penguasaan kesultanan terhadap berbagai sumber daya, juga mengatur beragam aspek sosial, mulai dari perkara pegangan tangan antara laki-laki dan perempuan, kegiatan ekonomi, masalah keamanan lingkungan, hingga politik dalam organisasi pemerintahan marga.

Undang-undang (UU) tersebut juga mengatur wilayah kekuasaan sultan di tingkat marga. Pemimpin marga disebut pasirah. Bawahannya adalah para kepala dusun yang disebut kerio. Selain struktur pemerintahan marga, ada tingkatan-tingkatan keluarga raja adat yang masih keturunan Kesultanan Palembang.

Pengajar Hukum Adat pada Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Albar S Subari, menuturkan, Simbur Cahaya berlaku sebagai UU dengan menerapkan sanksi yang tegas. "Saat hukum adat masih dipegang, laki-laki yang mengganggu perempuan bisa dikenai denda atau sanksi," paparnya.

Sekretaris Penasihat Dewan Pembina Adat Istiadat Sumsel ini menilai, hukum adat berperan besar dalam menjaga ketertiban masyarakat Komering. "Tindak kriminalitas memang sudah ada sejak dulu, tetapi kontrol sosial melalui penerapan hukum adat pada masa lalu cukup kuat untuk mengurangi efeknya," ungkap Albar.

Kuatnya pengaruh hukum adat, lanjut Albar, tidak lepas dari peranan pemimpin marga. Para pasirah adalah tokoh yang benar-benar disegani karena kekuasaan mereka cukup besar. Mereka memegang fungsi yudikatif, eksekutif, dan kepolisian.

"Dulu, kejahatan-kejahatan kecil biasanya diselesaikan di tingkat marga. Para pihak-pihak yang terkait didamaikan, lalu diadakan sedekah," tutur Albar.

Peran hukum adat sebagai pranata sosial masyarakat mulai pupus menyusul dihapuskannya sistem marga oleh Pemerintah RI pada tahun 1983. "Sistem pemerintahan desa tidak punya ikatan yang kuat dengan masyarakat. Sejak itu berbagai masalah sosial pun makin sulit dikontrol," ujarnya.

Meskipun sistem marga sudah tidak berlaku, secara fisik sejumlah peninggalannya masih ada. Di tengah Kota Martapura, kecamatan yang menjadi ibu kota Kabupaten OKU Timur, tegak berdiri bangunan bergaya kolonial yang masih terawat baik. Pada masa Kesultanan Palembang maupun pemerintahan Hindia Belanda, gedung tersebut didiami oleh asisten demang, kepala pemerintahan yang membawahi sejumlah marga.

Gedung itu sekaligus berfungsi sebagai tempat berkumpul khalayak ramai setiap kali diadakan pesta maupun pertemuan adat. "Zaman kami masih muda dulu, karena pergaulan antarmuda-mudi sangat dibatasi, orang-orang tua menyelenggarakan pesta adat untuk memberi kesempatan pada kaum muda bertemu," kisah Hadijah (60), warga Martapura.

Nenek dua cucu ini masih ingat, dengan mengenakan kain sarung dan baju kurung, para muda-mudi duduk berhadap-hadapan, bercakap-cakap dengan diawasi orang-orang tua dari kejauhan. "Kalau ada yang ingin berkenalan, biasanya menulis pesan dalam secarik kertas, lalu disampaikan oleh anak-anak kecil yang mendapat imbalan gula-gula," tuturnya.

Kebiasaan menitip surat untuk berkenalan itu hingga saat ini masih lestari di pelosok-pelosok kampung yang didiami masyarakat asli Komering. Meski saat ini pergaulan muda-mudinya sudah jauh lebih longgar dibandingkan dulu, saat adat masih dipegang ketat.

Menimbang suasana kehidupan pada masa marga yang lebih tertib, ada keinginan untuk kembali menghidupkan lembaga tersebut. "Dengan kembali ke sistem pemerintahan marga, maka adat akan kembali hidup," kata Albar.

MESKIPUN stigma sebagai masyarakat yang keras identik dengan masyarakat Komering, mereka cukup terbuka terhadap kehadiran orang luar. Warga pendatang dari Lampung, Jawa, dan Bali diterima dengan tangan terbuka. Para pendatang ini bahkan banyak yang bisa sukses, baik sebagai pedagang maupun petani.

Made, warga Belitang yang berasal dari Bali, menuturkan, ia sudah mendengar cerita tentang masyarakat Komering yang keras. "Tetapi, selama 20 tahun tinggal di sini, saya tidak pernah mendapat kesulitan dengan mereka," ujarnya.

Hal serupa dikemukakan Wak Dul, penduduk di Kecamatan Buay Pemuka Peliung, OKU Timur, asal Jawa. Sebagian besar warga desanya adalah pendatang dari Jawa yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani. "Menantu saya juga orang Komering. Memang dari luar mereka kelihatan keras, tetapi tidak semua orang Komering itu keras," tuturnya menerangkan.

Related Posts by Categories



0 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...