NONTON TV DA PAI....

MASYARAKAT KOMERING DI HANTUI STIGMA

Rabu, 04 Juni 2008
Share

DUA turis asing bertanya kepada sopir mobil sewaan, apakah ia seorang penakut. "Tentu tidak," kata si sopir dengan nada tinggi seraya membuka laci mobilnya. Sopir itu menunjukkan sebilah pisau besar yang ia bawa sebagai alat pertahanan diri. Akan tetapi, sopir itu bersikeras menolak ketika diminta untuk mengantarkan kedua turis itu melewati daerah hunian warga Komering.

MENURUT sopir tadi, banyak kejadian yang sering menimpa kendaraan yang lewat di daerah yang dihuni masyarakat Komering. "Tiba-tiba ban kempes, lalu muncul beberapa orang yang merampok penumpang," tuturnya.

Kisah tersebut tertayang di sebuah situs perjalanan berbahasa Inggris di internet. Tidak diceritakan, apakah akhirnya kedua wisatawan tadi nekat melanjutkan perjalanan melewati wilayah Komering atau mereka menuruti saran sopir untuk mengambil jalan lain.

Satu hal yang jelas, cerita itu merefleksikan kuatnya stigmatisasi terhadap masyarakat Komering sebagai masyarakat yang identik dengan kekerasan dan tindak kriminal. Stereotip itu bahkan sudah "mendunia", seperti yang terlihat dalam tulisan internet berbahasa Inggris di atas.

SUKU Komering adalah salah satu suku yang ada di Sumatera Selatan. Mereka tinggal di daerah aliran Sungai Komering dan hidup dengan bergantung pada pertanian sebagai mata pencaharian utama.

Jumlah populasi orang Komering saat ini diperkirakan sekitar 140.000 jiwa. Mereka terutama bermukim di beberapa kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu/OKU (sebelum dimekarkan) dan Ogan Komering Ilir (OKI). Kecamatan Buay Madang, Buay Pemuka Peliung, Belitang, Cempaka, Simpang, Martapura, dan Tanjung Lubuk adalah daerah asli suku tersebut.

Masyarakat Komering banyak yang merasa keberatan dengan anggapan negatif terhadap mereka. Menurut mereka, ibarat sebuah institusi, kejelekan atau kejahatan tersebut dilakukan oleh oknum yang membawa nama Suku Komering.

"Kejahatan muncul lebih karena alasan ekonomis, bukan karena adat kebiasaan. Toh, buktinya banyak figur orang Komering terdidik yang bisa sukses, termasuk Gubernur Sumatera Selatan (Syahrial Oesman- Red) sekarang," ujar Ruslan Muchdar, salah seorang tokoh masyarakat Komering yang bermukim di Martapura, ibu kota Kabupaten OKU Timur.

Dalam kesehariannya, menurut Ruslan, masyarakat Komering adalah masyarakat yang taat menjalankan ajaran agama Islam. "Dalam masyarakat Komering, adat sangat dipegang. Orang tua sangat dihormati dan sifat gotong royong pun masih kental," tutur Ruslan.

Akan tetapi, stigmatisasi kekerasan memang kerap menjadi ganjalan bagi warga Komering yang merantau. "Kami mengaku berasal dari Palembang saja. Masyarakat sudah menilai kami sebagai orang yang keras, apalagi jika ketahuan berasal dari Komering. Kesannya, kami ini jahat," tutur Andi yang berasal dari Belitang.

Selama tinggal di Jakarta, pemuda ini tidak pernah mau menyebut dirinya sebagai orang Komering karena takut dijauhi tetangga atau kenalan baru.

"Tetapi, kalau sedang di Terminal Kalideres (Jakarta) atau tempat-tempat yang agak rawan, saya bilang dari Komering. Orang ternyata jadi segan," katanya menambahkan.

Meskipun mengaku risi dengan stigma yang melekat pada dirinya sebagai bagian dari suku Komering, pemuda yang bekerja sebagai petugas kebersihan di salah satu pusat perbelanjaan Palembang itu terbiasa mengantongi pisau lipat ke mana pun dia pergi.

Bagaimana asal-usulnya citra kekerasan itu bisa melekat pada suku Komering? "Orang Komering itu rasa kesukuannya sangat kuat dan akan makin tampak jika berhadapan dengan kelompok lain," papar Sri Sulastri, sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Palembang.

Sebenarnya, karakter yang keras juga dimiliki oleh mayoritas suku asli Sumatera Selatan lainnya. Akan tetapi, sikap keakuan yang kuat dalam kelompok-kelompok masyarakat Komering menumbuhkan pandangan "kelompok kami" (in group) dan "kelompok luar" (out group) yang kuat.

Para anggota in group kerap bersikap antipati atau antagonis terhadap anggota out group yang menjadi lawannya. Perasaan ini dapat menjadi dasar terbentuknya suatu sikap yang disebut etnosentrisme. Soekanto (1990) menjabarkan bahwa anggota kelompok sosial tertentu cenderung menganggap kebiasaan yang dimiliki kelompoknya adalah sesuatu yang wajar.

Akibat dari sikap etnosentris ini, masyarakat dalam kelompok itu sukar untuk mengubah kebiasaan mereka meskipun mereka menyadari sikapnya salah. "Dalam masyarakat Komering, sifat-sifat itu berkembang menjadi stereotip sebagai masyarakat yang keras, egois, dan tidak mau mengalah," papar Sulastri.

Pada masyarakat Komering, sifat pengelompokan tersebut juga dipengaruhi sistem pemerintahan desa pada masa pemerintahan Belanda dan Kesultanan Palembang yang disebut dengan "marga". Marga terbentuk dari kesatuan dusun-dusun.

Masyarakat penghuni dusun tersebut disatukan oleh ikatan keturunan yang kuat antarmereka dan rasa kepemilikan atas wilayah yang mereka diami. "Karena tidak semua wilayah marga itu subur, muncul kecemburuan terhadap warga dari marga lain meskipun sesama suku Komering," papar Sulastri pula.

Sejarah perkembangan masyarakat untuk mempertahankan hidupnya, lanjut Sulastri, kerap diwarnai oleh kekerasan. Termasuk yang dilakukan oleh masyarakat Komering yang terbagi dalam marga-marga.

"Ditambah ada kecenderungan untuk cari gampangnya saja sehingga mendorong kejahatan oleh kelompok," ujar Sulastri.

Namun, ia menggarisbawahi bahwa tingkat kesejahteraan lebih dominan untuk memicu terjadinya kriminalitas. "Marga yang wilayahnya gersang biasanya penghuninya lebih temperamental dan cenderung lebih berani melakukan kejahatan," ungkapnya.

Tekanan ekonomi memang bisa menjadi pemicu seorang individu melakukan tindakan ilegal. Jika ditelusuri, sejumlah daerah Komering yang tergolong rawan adalah daerah yang kalah makmur dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Daerah tersebut bahkan menjadi daerah yang ditakuti oleh masyarakat Komering sendiri.

Sebutlah ruas jalan yang menghubungkan Kecamatan Martapura dengan Kecamatan Cempaka atau ruas jalan dari Kecamatan Simpang menuju Lampung yang melewati daerah Kota Baru. Warga sekitar pun memilih untuk tidak melintasi jalan tersebut sendirian pada siang hari, terlebih lagi pada malam hari.

"Justru siang bolong itu sering kejadian orang digerandong (dirampok), pengemudinya dianiaya, lalu motornya dirampas," tutur Ruhani, seorang warga Martapura.

Warga Belitang yang tergolong makmur karena memiliki sawah irigasi sehingga mampu panen tiga kali dalam setahun termasuk yang kerap menjadi sasaran empuk. Jangan heran jika petani di Desa Kurungan Nyawa, Belitang, yang cukup mampu pun memilih tidak memperlihatkan kesejahteraannya secara mencolok.

"Kalau kami kelihatan punya barang-barang ini itu, punya sepeda motor, malah bisa celaka," tutur seorang warga Kurungan Nyawa.

Dari segi ekonomi, stigma kerawanan daerah Komering tentu sangatlah merugikan, apalagi jika menimbang potensi pertanian, perkebunan, dan jasa angkutan. Sebagai ilustrasi, meskipun ruas jalan yang menghubungkan Palembang- Kayu Agung-Martapura lebih mulus dan jaraknya lebih pendek daripada ruas Palembang- Baturaja-Martapura, namun angkutan barang dan penumpang memilih untuk menghindari jalur tersebut. Lagi-lagi karena faktor keamanan.

"Stigma kekerasan akan terus menempel dan justru akan mematikan daerah itu. Masyarakat akan cenderung menganggap orang yang lewat sebagai musuh," tutur Sulastri.

Pendapat yang sama juga disampaikan Ruslan Muchdar. "Jika tingkat kesejahteraan dan pendidikan diperbaiki, tentu akan ada perubahan sikap di masyarakat. Tanpa itu, masyarakat Komering akan terus dihantui oleh stigma," ujarnya menambahkan.

Related Posts by Categories



7 komentar:

Anonim mengatakan...

Ah..syahrial Oesman jg akhirnya dijeblozken ke penjara..
Fakta kan???

hatta mengatakan...

@ anonim
manusia tiada yang sempurna,setidaknya syahrial oesman pernah memberikan sumbangsihnya untuk bangsa ini.

Anonim mengatakan...

nyak panuju di niku hatta
@ anonim dari cara anda berbicara saya yakin anda tife orang yang tidak mengerti aturan tata bahasa dan kesopanan.

Anonim mengatakan...

Kurungan nyawa,,,!!!

Anonim mengatakan...

Semua kondisi di masyarakat komering itu tidak lepas karena keterbelakangan pengetahuan, pendidikan, sosial dan informasi moderen, memang sepanjang jalan mulai selepas kayu agung masuk ke wil. cempaka hingga belitang dan kurungan nyawa ! kehidupannya ternyata masih primitif, "budaya sungai" spti pada masa purbakala, hiikss,,,dasar komering anjing ! kerjaannya merampok, maling, jual tanah beberapa kali, ributtt,,,dan terbelakang mentalnya !

Anonim mengatakan...

orang komering memang maling, perampok, pemeras,,,lagak anjing liar makan bangkai anjing !!!

Anonim mengatakan...

dang galak ngahina jolma kumoring, nonti kona walat kuti mpai sadar !

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...